Tiga Perkara
Untuk Merasakan Manisnya Iman
Oleh : Sudaryadie Hr
حدَّثنَامحمدُ بنُ المُثَنى قال حدَّثنا عَبْدُ الوهابِ
الثَّقَفِىُّ قال حدَّثَنَا أَيوبُ عنْ أَبى قِلابة عَنْ أنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ -
صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Bercerita kepada kami Muhammad
bin Mutsanna berkata, Bercerita kepada kami Abdul Wahab Ats Tsaqofi berkata,
Bercerita kepada kami Ayub dari Abi Qilabah dari Anas, dari Nabi SAW beliau
bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan
manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali
kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api
neraka." (HR. Bukhori hadits ke-16 Kitabul Iman).
Makna yang terkandung di dalam
hadits tersebut adalah tentang tiga perkara yang barangsiapa mampu memilikinya
atau meraihnya maka ia akan dapat merasakan حَلاَوَةَ الإِيمَان (manisnya iman). Disebutkan para
perowinya antara lain, Muhammad bin Mutsanna yang merupakan (tsiqoh
tsabit), kemudian Abdul Wahab Ats tsaqofi, Ayyub atau Ibnu abi Tamimah, Abu
Qilabah atau Abdullah ibnu zaid ibnu Amr Al Bashry yang kesemuanya adalah
(tsiqoh), kemudian Anas ibnu Malik dan sampai kepada Rasulullah SAW. Apabila
dilihat dari perowinya yang merupakan tsiqoh maka tak diragukan lagi Hadits ini
derajatnya Shohih. Ini adalah Hadits ke-16 dari kitab Shahih Bukhori karangan
Imam Al bukhori bab ke-8 tentang حب الرسول صلى الله عليه وسلم من الايمان dalam Kitab Al Iman.
قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
Lafadz hadits ini (حَلاَوَةَ الإِيمَانِ)
mengunakan perumpamaan dalam bahasa Balaghoh di sebut Isti’aroh atau majas
(kiasan) bahwa merasakan tenang, tentram dan sempurnanya keimanan seperti
halnya merasakan manisnya Iman.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam Fathul Bari, ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa
merasakannya. Sebagaimana manisnya madu hanya akan dirasakan oleh orang yang
sehat, sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan manisnya. Demikian
pula manisnya iman. Ia hanya didapatkan oleh orang-orang yang imannya
"sehat". Diantaranya adalah yang memenuhi kriteria yang disebutkan
dalam penggalan hadits berikutnya.
Hal ini juga mengingatkan kita
pada perumpamaan sebuah pohon, ketika pohon itu kuat akarnya teguh cabangnya
menjulang tinggi maka akan keluar dari dalamnya buah yang manis dan bisa
dirasakan setiap orang yang beriman hal ini di sebutkan oleh Allah SWT
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً
كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي
أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS.
Ibrahim : 24-25)
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا
menjadikan Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintai dari selainnya
Perkara pertama yang harus
diadakan dalam diri setiap mukmin untuk dapat merasakan manisnya Iman adalah
Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta kepada selain keduanya, Seorang
mukmin haruslah menyempurnakan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, baru ia
mendapati manisnya iman. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tidak cukup hanya
sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang selainnya,
Allah SWT berfirman
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَاوَتِجَارَةٌتَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهَاأَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍفِي سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُواْحَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad),
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri (atau suami-suami)
dan kaum keluarga kelian, juga harta yang kalian usahakan dan perniagaan yang
kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah tempat tinggal yang kalian sukai
adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab)-Nya.
Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang fasik (durhaka).” (QS
at-Taubah : 24).
Implementasi dari mencintai
Allah dan Rasul-Nya (Mahabbatullah wa mahabbatu rasul) adalah dengan menta’ati
perintah Allah (Awamirillah) dan menjauhi maksiat kepada Allah SWT , dan
senantiasa (Iltizam) meneladani, membenarkan dan meyakini berita berita yang
dibawa oleh Rasulullah SAW serta menjauhi perkara bid’ah dan syubhat-syubhat
dien.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali
Imron : 31)
وَ ما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ ما نَهاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
“Apa yang Rasul perintahkan
kepada kalian, terimalah; apa yang dia larang atas kalian, maka tinggalkanlah”.
(QS al-Hasyr : 7).
Rasulullah SAW bersabda tentang
perkara bid’ah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدّ
Dari ‘Aisyah RA berkata,
Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami
apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.” (Hadits
Muttafaq ‘alaih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar